Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gabenor DKI Jakarta |
Diterjemah daripada Artikel Kristen penulisan Vino bertarikh 3 Mac 2015;
Pada suatu hari, seorang wartawan bertanya kepada seorang
kakitangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “ Bapak menyokong Ahok atau
menyokong DPRD DKI?
(DKI Jakarta = Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
Bapak tersebut langsung menjawab; “Saya menyokong Ahok
(Basuki Tjahaja Purnama)”. Lalu dia menambahkan; “Cuma satu hal yang saya
tidak suka dengan dia (Ahok). Congornya itulah yang tidak dapat dijaga!”
“Hampir setiap hari marah-marah di pejabat,” katanya.
Congor adalah bahasa kasar dari etnik Jawa untuk menyebut
mulut seseorang sewaktu berkata-kata. Lebih sering digunakan pada haiwan seperti
sapi (congor/cingur).
Wartawan itu kemudian membalas: “Ahok marah dan memaki
seperti itu pasti ada sebabnya. Kalau tidak ada sebabnya, mengapa dia harus
marah?. Kakitangan Provinsi DKI Jakarta itu tidak dapat menjawab.
“Saya tidak peduli jika DPRD akan memakzulkan (memecat jawatan) saya, sebab bagi saya mendengar suara hati nurani lebih penting daripada mendengar suara DPRD. Bagi saya jawatan bukan segala-galanya.”
Ucapan Ahok yang tanpa segan-silu itu beberapa hari
belakangan ini kembali berkumandang ke penjuru nusantara Indonesia, mungkin
juga dunia setelah ia “bertengkar” dengan DPRD DKI Jakarta gara-gara ia
mendapati ada dana terselindung Rp 12.1 triliun dalam RAPBD 2015 yang disisipkan
oleh para anggota DPRD.
(RAPBD 2015 = Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah 2015)
Kita tidak membahas secara terperinci hal-hal yang menjadi pertengkaran
antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta, kerana saya yakin semua saudara pasti sudah
tahu masalahnya. Dengan banyaknya media yang memberitakan masalah ini,
beruntung bagi kita semua rakyat Indonesia dapat mengetahui sedikit demi
sedikit mengenai permasalahan antara “peribadi” (Ahok) melawan “lembaga” (DPRD
DKI Jakarta) ini.
Apakah Ahok terlalu melebih-lebih? Mencari sensasi? Mencari
populariti melalui pendedahan? Saya rasa tidak, kerana semua orang sudah kenal
siapa Ahok dan bagaimana karakter Ahok itu.
Lalu mengapa “congor” Ahok lantang mengecam para wakil
rakyat? Dalam kes itu, nurani Ahok yang memain peranan. Sejak awal, nuraninya
mengatakan bahwa projek Rp 12,1 triliun (yang disisipkan ke APBD) itu memang tidak
masuk akal atau dibuat-buat menurut Ahok.
(APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
“Yang paling jelas sajalah, kamu tahu UPS, kan Rp 4.9 bilion.
Harga generator set paling besar saja Rp 150 juta. Ini apa-apaan ini? Daripada
Rp 12.1 triliun habis buat beli barang-barang gila begitu, lebih baik saya
pertaruhkan kedudukan saya sebagai gabenor. Kita lihat saja siapa yang masuk
penjara nanti?,” kata Ahok.
Banyak orang tak habis fikir mengapa Ahok berani berbicara
keras kepada siapa pun, termasuk kepada DPRD yang kedudukannya setara? Mengapa
dia rela mempertaruhkan jawatannya sebagai gabenor, sehingga dalam berbagai
kesempatan, dia selalu mengatakan: “Dihentikan jadi gabenor pun saya tidak jadi
soal.”
Surat khabar Media Indonesia yang mewawancaranya beberapa
hari yang lalu, dia mengatakan: “Saya tidak peduli jika DPRD akan memakzulkan (memecat
jawatan) saya, sebab bagi saya mendengar suara hati nurani lebih penting
daripada mendengar suara DPRD. Bagi saya jawatan bukan segala-galanya.”
Dalam masalah ini, tampaknya Ahok akan terus mempertahankan
prinsipnya, bahwa dia tidak akan berkompromi dengan penyelewengan yang ada
disekitarnya. Sikap teguh ini sepertinya didasari oleh imannya sebagai pengikut
Kristus yang harus berani menunjukkan kebenaran meskipun berisiko mati
sekalipun.
Kita tentu masih ingat, saat dia diwawancara oleh Najwa
Sihab dalam acara Mata Najwa di Metro TV beberapa waktu lalu, dia mengungkapkan
bahwa dia dan keluarganya siap mati. Iman Kristen menuntunnya untuk berani
mengatakan bahwa “mati adalah sebuah keuntungan”.
Ahok merujuk pada ayat di Alkitab di Filipi:21:
“Kerana bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
Teladan Kristus yang akhirnya mati di salib kerana
menegakkan kebenaran meskipun sebelumnya menanggung risiko dibenci, dicaci,
disiksa dan diadili secara tidak adil oleh orang-orang yang merasa dirinya
paling suci dan bersih (kaum farisi dan ahli taurat).
Matius 5:37: Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”
Ayat di atas rupanya sudah menjadi prinsip hidupnya sehingga
dia (Ahok) berani lantang berbicara dan tidak sudi berkompromi untuk hal-hal
yang menyimpang.
Melalui imannya, Ahok lebih takut kepada Tuhan daripada
kepada manusia, sehingga ia tidak mhau masuk ke wilayah yang kelabu antara “ya”
dan “tidak”.
Dilatarbelakangi iman seperti itulah Ahok siap dan rela
tidak menjadi gabenor daripada berkompromi dengan kenajisan (korupsi mencuri wang
rakyat). “Tidak apa-apa saya dimakzulkan asalkan tidak mencuri wang rakyat.
Sebagai gabenor saya harus menjaga wang rakyat,” katanya.
“Saya tidak peduli jika DPRD akan memakzulkan (memecat jawatan) saya, sebab bagi saya mendengar suara hati nurani lebih penting daripada mendengar suara DPRD. Bagi saya jawatan bukan segala-galanya.”
Kita tidak tahu bagaimana akhir dari perseteruan ini, siapa
yang bakal menang, akan mencerminkan hukum yang sebenar-benarnya yang ada di
negara kita. Saudara pasti dapat menilai sendiri.
Jika memang akhirnya nanti Ahok harus kalah (dimakzulkan
DPRD melalui hak angket) dan dia harus melepaskan jawatannya sebagai gabenor,
saya yakin Pak Ahok tetap konsisten dengan imannya dan seperti kata Tuhan Yesus
sewaktu disalib: “Ampuni mereka ya Bapa, sebab mereka tidak tahu apa yang
dilakukannya.”
Saya harap dia mengucapkan dengan tidak marah, dengan lemah
lembut, kerana penyebab marah-marahnya sudah tidak menjadi tanggung jawabnya.
Saya rasa Pak Ahok telah lulus ujian iman. Dan saya yakin dia akan dikenang
dalam sejarah bangsa Indonesia.
Mari kita renungkan saudara, sang teladan telah bersikap dan
memberi contoh yang luar biasa sebagai orang Kristen, sebagai pengikut Kristus
sejati, yang telah selesai dengan dirinya sendiri, yang tidak menaruh sayang
dan cinta akan jawatannya. Rela berkorban demi orang ramai.
Mungkin kita tidak mempunyai kedudukan atau jawatan seperti Pak
Ahok. Tapi inti permasalahan dalam kehidupan sehari-hari kita adalah sama saja.
Selalu ada ruang untuk kita mengamalkan ajaran Kristus dan meneladani sikap-Nya.
Beranikah kita mengatakan YA atas sesuai yang benar dan
TIDAK atas sesuatu yang salah tanpa kompromi?
Beranikah kita kehilangan jawatan kita, harta kita atau
kehormatan kita demi mewujudkan kebenaran?
Tuhan memberkati saudara. Salam kasih.