Kesaksian Basuki Tjahaja Purnama:
Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung
Timur, di dalam keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali
sejak kecil selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh datuk saya. Meskipun demikian,
kerana orang tua saya bukan seorang Kristian, ketika beranjak dewasa saya jarang
ke gereja.
Saya melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan di sana mulai kembali ke
gereja kerana sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristian. Saat saya sudah
menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi
terserang penyakit beguk yang mengharuskan dibedah. Saat itu saya walaupun
sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya kemudian mengajak
Mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi. Mama disembuhkan oleh-Nya!
Itu merupakan titik balik kerohanian saya. Tidak lama kemudian Mama kembali ke
Belitung, adapun saya yang sendiri di Jakarta mulai sering ke gereja mencari
kebenaran akan Firman Tuhan.
Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya
mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa. Dia
mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang gila. Mana
ada orang yang mahu menjalankan sesuatu yang sudah jelas tidak mengenakan bagi
dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang mengatakan bahwa Dia akan
menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara para penjahat untuk menyelamatkan
umat manusia, tetapi Dia masih mahu menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu
hal yang biasa-biasa saja, tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk
alasan saya mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa “Tuhan, saya ingin
mempercayai Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekadar
rasa saja saya tidak mahu," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN kepada
saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca Firman Tuhan dan saya
mengalami Tuhan.
Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gabenor Jakarta pada Nov 2014 |
Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, “Kita tidak mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu bilion kita
bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.” Setelah sering membaca Firman
Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan justice. Charity (Kebajikan) itu
seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong orang yang dianiaya.
Sedangkan justice (keadilan), kita menjamin orang di sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho
tidak ada lagi yang dirompak dan dianiaya. Hal ini yang memacu saya untuk
memasuki dunia politik.
Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat
saya seorang keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya terus
bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang saya baca menjadi kalimat (rhema) tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang mengatakan Mesias membawa
keadilan, yang dinyatakan di dalam sila kelima dalam Pancasila. Saya menyadari
bahwa panggilan saya adalah justice. Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa
yang mau Ku-utus?" Saya menjawab, “Tuhan, utuslah aku”.
Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan
jawaban Tuhan di Yesaya 41. Di situ jelas sekali terbahagi menjadi 4 perikop. Di
perikop yang pertama, untuk ayat 1-7, di sana dikatakan Tuhan membangkitkan
seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggeris yang saya baca (The Daily
Bible – Harvest House Publishers), ayat 1-4 mengatakan God’s providential
control, jadi ini semua berada di dalam kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi
manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan Israel specially chosen, ertinya Israel telah
dipilih Tuhan secara khusus. Jadi bukan saya yang memilih, tetapi Tuhan yang
telah memilih saya. Pada ayat 11-16 dikatakan nothing to fear, saya yang saat itu
merasa takut dan gentar begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada ayat 17-20
dikatakan needs to be provided, segala keperluan kita akan disediakan oleh-Nya.
Perikop yang seringkali hanya dibaca sambil lalu saja, dapat menjadi kalimat (rhema) yang
menguatkan untuk saya. Sungguh Allah kita luar biasa.
Buku "Merubah Indonesia" yang ditulis Basuki Tjahaja Purnama diterbitkan pada tahun 2008 |
Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Gabenor di Belitung
juga tidak mudah. Kerana saya merupakan orang Cina pertama yang mencalonkan
diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan cacian,
persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia akan membangun
tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.
Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di
Indonesia, supaya 4 tiang yang ada, iaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya wacana saja bagi Pengasas bangsa Indonesia,
tetapi benar-benar menjadi dasar untuk membangun rumah Indonesia untuk semua
suku, agama dan bangsa. Hari ini ramai orang tertegun melihat realiti dan tidak
berani membangun. Hari ini saya sudah berhasil membangun itu di Bangka
Belitung. Tetapi apa yang telah saya lakukan hanya dalam lingkup yang secara bandingan kecil. Kalau Tuhan mengizinkan, saya ingin melakukannya di dalam skala yang
lebih besar.
Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau
Gabenor tidak lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan
karakter yang telah teruji benar-benar bersih, telus, dan profesional.
Itulah Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Pengasas Negara kita, yang
diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Tuhan memberkati Indonesia
dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia.
(Diterjemah daripada artikel blog Kesaksian Life bertajuk "Kesaksian Ahok, 'Wakil Gubernur Jakarta'" bertarikh 24 Mac 2013)