Rabu, 16 Mac 2016

Saya dan Petrus Agung


Oleh John Binsar Gideon Sitorus:

Saya kehilangan orang yang tidak saya kenal secara peribadi. Ya, saya tidak kenal dia secara peribadi walaupun judul tulisan ini seolah-olah saya kenal beliau. Saya hanya pernah bersentuhan dengannya di beberapa malam pengurapan yang bukan hanya saya saja yang diurapi tapi ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang yang mendapat kesempatan yang sama. Tetapi, saya harus menulis bagaimana Tuhan mengubah begitu banyak aspek hidup saya melalui pelayanannya. Namanya Petrus Agung Purnomo. Saya tidak begitu hafal gelaran yang tercantum di depan atau di belakang namanya, yang saya tahu hidupnya punya sumbangan besar untuk siapa diri saya sekarang. Entah saya harus bersedih kerana dia pulang atau bergembira kerana dia bersama Tuhan, yang pasti saya bersyukur Tuhan pakai hidupnya secara luar biasa terutama untuk saya secara peribadi.

Saya ingat kali pertama, saya pergi ke Semarang untuk ikut acara tahunannya. Saya masih ingat betul acara dimulai jam 9 pagi, saya berangkat dari hotel jam 8.15 dengan pertimbangan bahwa tempat diadakannya acara tidak terlalu jauh dari hotel. Saya berangkat dengan taksi, dan saya bertanya kepada pemandu teksi: “Pak, tahu Holy Stadium?” Pemandunya menjawab, “Wah Pak, Bapak ini sudah yang ke-4 dari pagi saya mulai bawa, dari jam 6 pagi saya sudah mendapat penumpang ke sana.” Saya tertegun. Dalam hati saya berkata, “Gila ni orang, pelayanannya berdampak sangat buat kotanya.” Kebelakangan ini saya sedar, ke manapun saya pergi baik untuk melancong sambil makan atau melihat permandangan, saya melihat orang-orang yang sama dengan orang-orang yang ada di kebaktian. Di mana-mana hotel penuh, bahkan tema Natal Pemerintah Kota Semarang sama dengan tema Natal gerejanya. Luar biasa apa yang Tuhan kerjakan melalui hidupnya.

Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yeremia 29:7 TB)

Dia mengajarkan saya kerendahan hati. Saya ingat betul di suatu seminar, setelah seorang pengkhutbah mengajar tentang jangan menyayangkan nyawamu, dia naik ke pentas bukan untuk berkhutbah, dia naik untuk menceritakan bahawa dia merasa bersalah di hadapan Tuhan ketika pengkhutbah tersebut sedang menyampaikan Firman Tuhan bahwa dia menyayangkan nyawanya ketika jantungnya sakit. Saat itu, dia mencari doktor terlebih dahulu bukan bertanya kepada Tuhan. Dia meminta maaf kepada kita semua, dan minta didoakan oleh anak-anak yang saya yakin pengalamannya jauh di bawah dia. Hari itu, saya pulang ke rumah dan saya bertemu dengan orang tua saya dan menceritakan dosa-dosa saya yang selama ini saya sembunyikan.

Dia mengajarkan saya ertinya menghormati. Saat semua orang menghina, menuding, mencaci Ps. Kong Hee di tengah-tengah kejatuhannya (padahal mereka adalah orang yang sama yang mengagumi Ps. Kong ketika Tuhan sedang memakai hidupnya luar biasa), dia berkata “Ayuh kita doakan Ps. Kong, terus dukung dia, jangan pernah bergembira di tengah kejatuhan orang lain, di mana hebatnya ketika kita dapat tertawa di tengah penderitaan orang lain? Apakah Tuhan bahagia kalau anak-Nya menertawakan, menghina, mencaci, bahkan mengutuk anak-Nya yang lain ketika mereka sedang jatuh?”

Dia mengajarkan saya ertinya kesetiaan. Saya ingat betul perkataannya yang berkata “Tidak ada sebuah pelayanan yang berdampak besar yang lahir dari sebuah pemberontakan. Hargai proses Tuhan dalam hidupmu ketika Tuhan sedang membentuk engkau terutama ketika pembentukan itu datang dari pemimpinmu.” Daud sudah menjadi raja ketika raja Saul masih bertakhta, tetapi Daud tidak pernah membangun jalannya sendiri menuju takhtanya. Dia sabar dalam setiap didikan Tuhan melalui seorang yang begitu membencinya yang bernama Saul.

Dia mengajarkan saya erti panggilan. Di suatu pagi saya sedang duduk, saya sedang merasa begitu lelah akan semua yang terjadi, dan saya berfikir: “Aduh Tuhan, enak kali yah kalau hidup santai santai, deposit besar tiap bulan dapat duit dari bunga bank, petang-petang minum kopi baca buku terus pulang tidur.” Petangnya saya ikut seminarnya, dan dia sedang berkhutbah tentang panggilan bangsa-bangsa, saya masih ingat betul tiba-tiba dia berkata “Kalau hidupmu hanya ingin santai-santai, petang-petang minum kopi, engkau dalam masalah besar, engkau tak akan pernah mengakhiri pertandingan imanmu dengan baik!” Sebuah tamparan keras buat saya untuk sedar apa erti panggilan.

Dia mengajarkan saya erti menguasai diri. Saya ingat betul, berulang-ulang kali dia berkata “Dalam situasi ketakutan seperti apapun, belajar untuk diam dan tenang, dan kuasai dirimu, dan lihat Tuhan akan mengerjakan bahagian-Nya dengan ajaib.” Perkataan ini terus saya pegang sampai hari ini. Setiap kali saya gementar, saya selalu belajar untuk diam dan menguasai diri saya sepenuhnya. Walaupun belum sempurna, saya bersyukur untuk kebenaran yang memerdekakan ini.

Dia mengajarkan saya erti mezbah. Setiap orang suka dengan pentas, di mana lampu sorot mengarah kepada kita, pujian, tepuk tangan, dan sanjungan semua bermuara di hidup kita. Padahal, Tuhan mencari orang-orang yang mahu membakar persembahan di atas mezbah di mana hanya ada engkau dan Tuhan secara peribadi. Dalam hidup jangan bangun pentas, bangun mezbah, maka engkau akan melihat Tuhan akan membawa engkau naik begitu rupa.

Dia mengajarkan saya erti bertanya kepada Roh Kudus. Dalam situasi apapun selalu tanya Roh Kudus, Roh Kudus dikirim bukan untuk diacuhkan melainkan untuk menolong kita. Seringkali situasi begitu rumit dan pelik, belajar untuk bertanya kepada Roh yang maha lembut itu, dan lihat bahawa bersama dengan Tuhan hujungnya selalu baik.

Dia mengajarkan erti keluar. Saya selalu ingat pengajarannya yang berkata “Dewan gereja itu terlalu sempit, jangan bersaing dengan orang-orang di gereja, keluar bersaing dengan orang-orang dunia.” Saya tidak terlalu suka tampil hebat di gereja, saya suka ketika saya keluar gereja, orang dapat melihat bahwa penyertaan Tuhan itu ada di hidup saya.

Dia mengajarkan saya untuk memandang Tuhan di tengah ketidaksempurnaan orang lain. Ketika kita melihat dari dekat orang yang dipakai Tuhan secara luar biasa, dan ternyata kita melihat bahawa orang tersebut penuh dengan kekurangan. Bersyukur bahawa ternyata anugerah Tuhan itu begitu besar, bahkan untuk orang-orang yang penuh kekurangan, anugerah-Nya tetap ada dan bahkan berlimpah.

Dia mengajarkan saya tentang cinta. Mudah untuk mencintai seseorang, tetapi mencintai apa yang dicintai orang yang kita cintai adalah hal yang berbeza. Mencintai Tuhan kerana berkatnya adalah satu hal, tetapi mencintai apa yang Tuhan cintai perlu proses. Tuhan cinta kepada jiwa-jiwa yang terhilang. Tidak perduli kaya, miskin, gila, normal, tua, muda, atau apapun darah Tuhan menetes untuk mereka. Apakah kita mengerti perasaan Tuhan? Atau kita hanya menuntut Tuhan mengerti yang kita rasakan?

Terlalu banyak yang harus saya tulis tentang pelayanan bapak, bahkan tulisan pertama saya di blog saya pun tentang apa yang saya pelajari dari pengajaran Bapak. Akan tetapi, bukan itu intinya. Intinya adalah bagaimana hidup dalam sebuah kehidupan yang mempersembahkan segalanya untuk kemuliaan Tuhan.

Sekarang saya mengerti, mengapa dua minggu terakhir ini, Bapak terus-menerus menyampaikan mengenai perjanjian peribadi antara Bapak dengan Tuhan selama puluhan tahun kepada kita semua. Ternyata itu sebuah warisan untuk pemergian Bapak. Terima kasih sekali lagi untuk pelayanannya. Pasti saat ini Bapak masih di pintu syurga kerana begitu banyak malaikat yang membacakan surat cinta dari bumi.

Seandainya saya dapat memilih, maka saya akan memilih menyanyikan lagu Slank yang berjudul “Terlalu Manis” untuk penguburan, tentu dengan sedikit perubahan pada liriknya. Sekali lagi, Terima Kasih dan Selamat Jalan Bapak Petrus Agung Purnomo.

Dengan Hati yang hancur tetapi tetap percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik,

(Dialihbahasa daripada artikel, "Saya dan Petrus Agung" yang ditulis oleh John Binsar Gideon Sitorus bertarikh 15 Mac 2016)