Lucio mengangkat tangan memuliakan Tuhan |
Ketika mantan kapten Brazil
Lucimar Ferreira da Silva, atau lebih dikenal di dunia bola sepak dengan nama
Lúcio, sedang mengingat kembali kejayaan Brazil di Piala Dunia 2002 di Jepun, fikirannya membayangkan perasaan yang dialaminya saat ia membawa negaranya yang
gila bola itu meraih kejuaraan yang paling diidam-idamkan dalam dunia sukan.
Hal itu membuatnya berfikir
tentang apa yang terpenting dalam hidupnya.
“Di Brazil, semua orang
memimpikan ini,” ujarnya tentang memenangi Piala Dunia. “Aku telah mengambil
bahagian dalam impian yang luar biasa itu. Kami adalah pasukan yang hebat dan itulah waktu yang sangat penting dalam hidupku dan keluargaku. Sekali lagi, kami mendapat
kesempatan untuk bersyukur kepada Allah di depan mata seluruh dunia. Tentu saja
itu lebih penting daripada gelaran juara yang kami raih.” Para pemain Brazil
menunjukkan kecintaan mereka bagi Allah di hadapan dunia dengan cara
menanggalkan kostum mereka dan memperlihatkan tulisan-tulisan yang berbicara
tentang Yesus dan kasih mereka kepada-Nya pada baju dalam yang mereka kenakan.
Dalam suatu perbincangan singkat,
bukan hal yang aneh mendengar Lúcio berulang kali menyatakan rasa syukurnya
kepada Allah atas setiap aspek hidupnya—tentang penghidupannya sebagai pemain bola sepak, isteri dan anak-anak yang dimilikinya, dan berbagai hal-hal sederhana
dalam hidup.
Lucio, bekas kapten pasukan Brazil, pernah mewakili negara dalam lebih seratus perlawanan antarabangsa, termasuk dalam Piala Dunia 2002, di mana Brazil meraih kejuaraan |
Lúcio telah bermain dalam lebih
dari 100 perlawanan antarabangsa bagi pasukan kebangsaan Brazil, termasuk sebuah
pertandingan besar pada Jun 2009 ketika ia mencipta gol terakhir yang membawa
Brazil mengatasi kembali 3-2 melawan pasukan Amerika Syarikat dalam kejuaraan Piala
Konfederasi di Afrika Selatan.
“Aku fikir keyakinan diri yang
kami punya sepanjang Piala Konfederasi itu sangat penting,” kata Lúcio. “Tapi
di atas semuanya, kami menyedari kuasa Allah sedang bekerja dalam hidup kami.”
Fokusnya dari dulu hingga
sekarang tetap pada Allah dan segala kebaikan-Nya. Ia menyedari keperluannya
akan Tuhan meski di mata manusia ia sepertinya telah mencapai segalanya.
“Aku percaya ketika aku bermain
untuk kelab yang hebat, bermain dalam pasukan kebangsaan, mempunyai seorang isteri dan
keluarga yang mendukungku, semua itu justru menunjukkan bahwa aku sangat
memerlukan Allah,” kata Lúcio.
“Dengan yakin hari ini aku dapat
berkata bahwa Allah telah melakukan banyak hal dalam hidupku yang tidak pernah
aku bayangkan. Allah juga yang memungkinkan aku memahami apa yang telah
dilakukan-Nya bagi kita, mengalami kasih yang Dia nyatakan kepada kita setiap
hari, dan belas kasihan-Nya atas kelemahan kita sebagai manusia berdosa. Aku
percaya Allah mengasihi kita sekaligus memelihara kita, sekalipun kita sering
gagal mengasihi-Nya. Aku percaya kesedaran-kesedaran seperti inilah yang
membawa kita rindu makin dekat kepada-Nya tiap-tiap hari.”